Senin, 21 September 2009

Hakikat Surga dan Neraka

Tanya :

Selama ini saya belum merasa pernah mendapatkan penjelasan yang memuaskan tentang hakikat surga dan neraka, khususnya yang disebut terakhir.

Saya masih belum bias menjelaskan, bagaimana mungkin Allah – yang nota bene Maja Pengasih lagi Maha Penyayang -- akan “tega” menyiksa manusia yang lemah ini dengan sedemikian dahsyat. Adakah penjelasan yang masuk akal dan memuaskan mengenai masalah ini?


Jawab :

Al-Qur’an dan hadis sering memberikan gambaran yang bersifat simbolik. Kadang makna hakikinya harus diturunkan melalui suatu penafsiran hemeneutis yang biasa disebut ta’wil. Kadang makna hakiki tentang sesuatu ditampilkan secara sekaligus, meski di tempat berbeda, dengangambaran simbolik itu.Nah, di antara kasus yang disebut terakhir ini adalah persoalan pemahaman atau hakikat surga dan neraka.

Tentu tak perlu diperdebatkan lebih jauh bahwa dalam al-Qur’an dan hadis banyak penggambaran yang bersifat fisik tentang surga dan neraka. Yakni, surga adalah kenikmatan fisik, sementara neraka adalah hukuman yang bersifat fisik pula. Tapi, jika kita pelajari ayat-ayat al-Qur’an lainnya tentang masalah yang sama, kita dapati di beberapa tempat Allah dan Rasul menggambarkan keduanya sebagai bersifat ruhaniah. Mengenai surga, kita dapati bahwa ia merupakan suatu situasi ketenteraman dan kedamaian ruhaniah. Sebagai contoh adalah firman-Nya di bawah ini :

“Wahai jiwa yang tenang. Pulanglah kepada Rabb-mu dengan ridha dan diridhai(-Nya), Maka masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke surgaku.”

Tampak jelas di dalam ayat di atas bahwa yang masuk surga adalah jiwa atau ruh kita. Karena itu, tentunya kenikmatan yang akan dirasakan juga bersifat ruhaniah.

Tak jarang pula digambarkan dalam al-Qur’an bahwa kenikmatan surga identik dengan “memandang” atau bertemu dengan Allah Swt. Sejalan dengan itu, berada di surga disamakan dengan mendapatkan ridhwan (jamak ridha) Allah, sebagaimana juga disebutkan dalam ayat yang dikutip di atas.

Demikian pula hanya dengan neraka. Dalam salah satu ayat, Allah Swt. berfirman : “Dan tahulah kamu apa itu khuthamah. Itulah api Allah yang menyala-nyala. Yang jilatannya sampai ke hati.”

Di sini tersurat dengan jelas bahwa siksaan api neraka sesungguhnya menerpa hati atau ruh kita

Jadi, bisa kita simpulkan bahwa sesungguhnya surga itu suatu keadaan kebersamaan kita dengan Allah Swt. – Kekasih sejati kita -- yang di dalamnya kita dinaungi oleh ridha Allah dan, karenanya, kita mengalami kedamaian dan ketenteraman total. Sedangkan neraka adalah suatu keadaan kesedihan dan kesumpekan luar biasa akibat kita tidak diridhai dan jauh dari-Nya.

Demi mempermudah pemahaman kita akan hal ini, marilah kita pelajari hakikat kenikmatan dan siksaan di alam kubur (barzakh). Alam kubur atau barzakhadalah alam transisi yang berada di antara alam kehidupan di dunia ini dan alam akhirat yang sepenuhnya bersifat ruhani. Di alam ini, kita masih mempertahankan sebagaian ciri modus kehidupan duniawi sekaligus sudah mulai mendapatkan ciri modus kehidupan ukhrawi. Yakni, di alam ini masih ada bentuk dan jumlah, tapi tak ada eksistensi fisik. Ibn ‘Arabi mengilustrasikan modus keberadaan di alam barzakh ini dengan bayangan cermin. Bayangan cermin masih menyimpan ciri-ciri obyek duniawi, yakni bentuk dan jumlah, tapi sudah kehilangan wujud fisikalnya. Contoh lain adalah eksistensi di alam mimpi. Ketika kita bermimpi, semuanya seolah seperti terjadi di kenyataan kehidupan duniawi – adabentuk dan jumlah. Tapi, sesungguhnya semua obyek mimpi itu tak memiliki eksistensi fisikal,

Itu sebabnya, Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa pengalaman kenikmatan di alam kubur sebenarnya sama dengan mimpi yang indah, sementara siksaan kubur mengambil bentuk seperti mimpi buruk. Tentu dengan intensitas yang berbeda-beda tergantung intensitas kenikmatan dan siksaan yang diberikan oleh Allah.

Nah, jika kita ekstrapolasikan hal ini ke kehidupan akhirat yang sepenuhnya bersifat ruhani, maka dapat dipahami bahwa surga sepenuhnya terkait dengan kenikmatan ruhaniah, sedangkan neraka dengan siksaan ruhaniah. Kesimpulan pertama yang bisa kita ambil adalah, gambaran kenikmatan dan siksaan fisik dalam al-Qur;an dan hadis pada hakikatnya menyimbolkan masing-masing kenikmatan dan siksaan yang sepenuhnya bersifat ruhani.

Pertanyaan selanjutnya yang harus kita jawab : kenapa Allah menggambarkan siksaan fisik itu, baik dalam al-Qur’an, maupun melalui Rasul-Nya dengan tingkat “kekejaman” yang begitu ekstrem? Nah, salahsatu penjelasan mengajak kita untuk meletakkan gambaran-gambaran ini dalam konteks keadaan ketika al-Qur’an diturunkan dan Rasul diutus. Siksaan-siksaan yang amat kejam hingga di luar imajinasi kita yang hidup di zaman sekarang, biasa dilakukan pada masa itu. Misal, terkadang masing-masing dari sepasang kaki seseorang yang disiksa diikat ke dua kuda yang bergerak ke arah bertentangan sedemikian, sehingga tubuh orang itu terbelah dua. Masih banyak siksaan-siksaan sadis seperti ini, Maka jika al-Qur’an, dan hadis tak menggambarkan siksaan neraka dengan simbol fisik dan cara yang ekstrem, kepedihannya tak akan begitu dihayati oleh audiens pada masa itu.

Nah, sampailah kita ke pertanyaan terakhir : Kenapa Allah tega memasukkan manusia ke neraka secara “kekal-abadi”? Alternatif jawaban pertama terletak pada cara kita memahami makna kata abad” dalam al-Qur’an, yang biasa diterjemahkan sebagai kekal-abadi itu. Menurut beberapa penafsiran, kata itu sesungguhnya berarti waktu yang lama – dalam bahasa Indonesia berarti “berabad-abad”. Nah, karena di alam ruhani tak ada waktu serial sebagai yang ada di kehidupan dunia ini, maka waktu yang amat lama identik dengan intensitas siksaan itu, intensitas kesedihan dan kesumpekan yang kita alami. Di masa modern, penjelasan ini antara lain oleh Muhammad Iqbal.

Ibn ‘Arabi memiliki penafsiran lain. Memang neraka sebagaimana surga akan kekal abadi. Tapi, sifat panas api neraka tidak abadi. Persis sebagaimana saat Nabi Ibrahim dibakar oleh kaumnya. Ibrahim selamat karena Allah memerintahkan kepada api itu untuk menjadi dingin dan tidak merusak (menyiksa) Ibrahim a.s.

Sebagian kaum Mu’tazilah memiliki penjelasan yang lain mengenai pernyataan al-Qur’an dan hadis tentang keras dan abadinya siksaan di neraka. Mereka menyatakan bahwa kelak Allah tak akan memenuhi janjinya itu. Menurut pendapat ini, adalah suatu kemuliaan – di kalangan bangsa Arab kepada siapa al-Qur’an diturunkan untuk pertama kalinya -- jika kita mengingkari janji kita yang tidak baik kepada orang lain. Misal, kita berjanji akan membalas dendam pada orang yang membunuh orang yang kita cintai. Jika akhirnya kita mengingkari janji itu, sesungguhnya kita sedang melakukan tindakan kemuliaan.

Demikianlah penjelasan kami. Wal-Lahu a’lam bish-shawab.

- 27 November 2008


Sumber :

Haidar Bagir

http://www.madina.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=50:hakikat-surga-dan-neraka&catid=39:newsflash

23 September 2009

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. pernyataan artikel ini sangat logis dan sesuai dengan rujukan dan kajian filsafat islam..tetapi menurut pendapat saya yang membaca artikel ini; jika dibaca oleh orang awam yang tidak untuk studi nampak menyesatkan.. hakikat surga dan neraka sudah sangat jelas didalam alquran;tafsir, hadits;syarhul hadits dan menurut ukuran akal manusia setiap dimensi alam yang kita lalui tidak akan pernah terlintas di otak kita. dari alam kandungan; alam dunia,alam barzakh dan alam akhirat; kita hanya tau jika kita telah melewatinya.. menurut dasar tauhid (i'tiqad 50) juga sudah sangat jelas digambarkan hakikat surga dan neraka. semoga Allah menunjuki kita jalan yang lurus

    BalasHapus